“Pai Dulu, Yuk!”: Meninjau Inkulturasi Budaya Tionghoa—Jibbok, Maisong, Sangseng, Cengbeng dalam Kekristenan di Indonesia Kaitannya dengan Model Teologi Kontekstual Menurut Bevans dan Klasifikasi Terkait Christ and Culture Menurut Niebuhr
DOI:
https://doi.org/10.21460/aradha.2022.23.1159Abstract
Abstract
Now, Contextual Theology has become a “primary need” for humanity as an effort to understand their faith (in this case, the Christian faith) from the context of a particular era. Stephen B. Bevans, an American theologian, wrote models of contextual theology, one of which is the translation model. In addition, Niebuhr’s ideas of Christ and Culture have also contributed to religious and cultural practices in Indonesia. In reality, contextual theology is not that easy to apply in people’s daily lives. There are many differences, and if applied, the applications vary. A true story of a series of funerals in Chinese culture related to Jibbok, Maisong, Sangseng, Cengbeng, which are inculturated with the characteristics and liturgy of Christianity. What was
the beginning of this? Why did the church end up “absorbing” such cultural practices? It is true that many Chinese crossbreed people in Indonesia embrace Christianity and thus implement Christian liturgy to Chinese culture which may or may not be in line with Christian values. However, which one comes first? Culture or religion?
Abstrak
Kini, Teologi Kontekstual menjadi “kebutuhan primer” umat manusia sebagai upaya memahami iman mereka (dalam hal ini iman Kristen) dari konteks zaman tertentu. Stephen B. Bevans, seorang teolog Amerika, menuliskan model-model teologi kontekstual, salah satunya adalah model terjemahan. Selain itu, gagasan Niebuhr mengenai Christ and Culture juga turut memberi kontribusi terhadap praktik-praktik beragama dan berbudaya di Indonesia. Kenyataannya, berkontekstual tidak semudah itu diterapkan dalam kehidupan keseharian umat. Banyak perbedaan, dan jika diterapkan, penerapannya berbeda-beda. Sebuah kisah nyata dari rangkaian ritual kedukaan dalam budaya Tionghoa terkait Jibbok, Maisong, Sangseng, Cengbeng, yang terinkulturasi dengan karakteristik juga liturgi dalam Kekristenan. Apa yang menjadi awal terjadinya hal tersebut? Mengapa pada akhirnya gereja bisa “menyerap” praktik-praktik kebudayaan yang
demikian? Memang benar adanya bahwa banyak orang Tionghoa peranakan di Indonesia yang menganut agama Kristen sehingga menerapkan liturgi Kristen pada budaya Tionghoa yang mungkin bertentangan ataupun tidak sesuai dengan nilai-nilai Kekristenan. Kendati demikian, manakah yang lebih dulu hadir?Budaya atau agama?