Papua bukan Tanah Kosong
DOI:
https://doi.org/10.21460/aradha.2024.41.1319Keywords:
indigenous peoples, forest conversion, palm oil, a theory of goods, bare life, masyarakat adat, pengalihfungsian hutan, sawitAbstract
Abstract
Indigenous Papuans are being threatened by plans to convert customary forests into oil palm plantations in Papua. The Awyu community is fighting to protect 36,094 hectares of forest in Boven Digoel, South Papua. Meanwhile, the Moi people are fighting with the Sorong district government to defend 40,000 hectares of customary forest in Sorong, West Papua. The community continues to appeal to the Supreme Court to seek justice for their forest, land and customary rights. At the same time, the government revealed that the purpose of converting forests for palm oil is intended for equitable development and economic distribution in the Papua region, but also wants to maintain the lives of indigenous peoples so that they are not displaced from their own land. This paper analyzes indigenous peoples' rights demands and the government's comments on the uproar against forest conversion permits, including the government's plans and approaches to convince Papuans of the benefits of oil palm plantations. The data to be analyzed is taken from the internet in national news portals and youtube channels and then studied using the theory of “A Theory of Goods” and the concept of “Bare Life”. This paper finds that there are differences in the meaning of social goods as indicators of welfare and justice that cause each party to take different actions in the strategy of distributing the justice that is being fought for. The government focuses more on two things: money and infrastructure as social goods for a meaningful life. Meanwhile, indigenous peoples focus on customary forests as social goods for a meaningful life. The consideration in this paper is that if the government does not revoke the palm oil licenses of PT IAL in Boven Digoel and PT SAS in Sorong, then the government has put the lives of indigenous peoples into Bare Life. Finally, issues of welfare and justice are complex. Imposing one concept of a meaningful life is unreasonable and has the potential to create ongoing conflict.
Abstrak
Masyarakat adat Papua sedang terancam oleh rencana pengalihfungsian hutan adat menjadi perkebunan sawit di Papua. Masyarakat suku Awyu berjuang untuk melindungi 36.094 hektar hutan di Boven Digoel, Papua Selatan. Sementara masyarakat suku Moi berjuang bersama pemerintah kabupaten Sorong untuk mempertahankan 40.000 hektar hutan adat di Sorong, Papua Barat. Masyarakat terus melakukan upaya banding hingga ke Mahkamah Agung untuk meminta keadilan atas hak hutan, tanah, dan masyarakat adat. Di saat yang bersamaan, pemerintah mengungkapkan bahwa tujuan pengalihfungsian hutan untuk sawit dimaksudkan untuk pemerataan pembangunan dan ekonomi di daerah Papua, namun juga tetap ingin mempertahankan kehidupan masyarakat adat agar tidak tergusur dari tanah sendiri. Tulisan ini menganalisis tuntutan-tuntutan hak masyarakat adat dan komentar-komentar pemerintah mengenai terkait gejolak penolakan izin alih fungsi hutan termasuk rencana dan pendekatan pemerintah yang akan dilakukan untuk meyakinkan masyarakat Papua tentang manfaat perkebunan sawit. Data-data yang akan dianalisis diambil dari internet dalam portal-portal berita nasional dan saluran youtube lalu dikaji menggunakan teori “A Theory of Goods” dan konsep “Bare Life” . Tulisan ini menemukan ada perbedaan makna barang sosial sebagai indikator kesejahteraan dan keadilan yang menyebabkan masing-masing pihak mengambil tindakan yang berbeda dalam strategi pendistribusian keadilan yang sedang diperjuangkan. Pemerintah lebih memfokuskan kepada dua hal yaitu uang dan infrastruktur sebagai barang sosial bagi kehidupan yang bermakna. Sementara masyarakat adat memfokuskan kepada hutan adat sebagai barang sosial untuk kehidupan yang bermakna. Pertimbangan dalam tulisan ini adalah seandainya pemerintah tidak mencabut ijin sawit PT IAL di Boven Digoel dan PT SAS di Sorong, maka pemerintah telah menempatkan kehidupan masyarakat adat kepada Bare Life. Akhirnya, persoalan kesejahteraan dan keadilan adalah sesuatu yang kompleks. Memaksakan satu konsep kehidupan yang bermakna adalah tindakan yang tidak masuk akal dan berpotensi melahirkan konflik yang berkelanjutan.