Menimbang Ulang Pemahaman Wahyu Supra-Historis dalam Pembacaan Kita Suci dalam Hubungannya dengan Konteks Gender
DOI:
https://doi.org/10.21460/aradha.2024.43.1339Keywords:
Supra-historical revelation, Holy Bible, Encounter Revelation, Feminist Perspective, Patriarchal Culture, Wahyu supra-historis, Kitab Suci, Wahyu Perjumpaan, Perspektif Feminis, Budaya PatriarkiAbstract
Abstract
This article reviews the concept of revelation and its impact on gender-biased interpretation of Biblical texts. Based on the experience of direct encounters with one of the GMIT congregations located in the interior of NTT, the author criticizes how verses such as 1 Timothy 2:8-14 are often used to support patriarchal culture. This article challenges the concept of supra-historical revelation, which considers the Holy Bible to be free from human context, by showing that the texts of the Holy Bible were born from the patriarchal culture of a certain time. The author proposes Keith Ward's model of encounter revelation which embraces both divine and human aspects in revelation. This model is enriched by a critical hermeneutic approach, including the feminist perspective of Elisabeth Schüssler Fiorenza, which emphasizes the importance of dismantling patriarchal assumptions in texts and making space for women's experiences. This approach not only reveals potential injustices in the text, but also creates new meaning that is relevant for today's readers. In conclusion, Scripture needs to be understood dialectically, as a dialogue between divine revelation, its historical context, and the experience of the modern reader. This approach does not weaken the authority of the Holy Bible, but rather strengthens its relevance in building a more just and equal life, especially on gender issues.
Abstrak
Tulisan ini mengkaji ulang konsep pewahyuan dan dampaknya terhadap penafsiran teks-teks Kitab Suci yang bias gender. Dengan berangkat dari pengalaman perjumpaan langsung dengan salah satu jemaat GMIT yang berlokasi di pedalaman NTT, penulis mengkritisi bagaimana ayat seperti 1 Timotius 2:8-14 kerap digunakan untuk mendukung budaya patriarki. Tulisan ini menantang konsep wahyu supra-historis, yang menganggap Kitab Suci bebas dari konteks manusiawi, dengan menunjukkan bahwa teks-teks Kitab Suci lahir dari budaya patriarki pada masa tertentu. Penulis mengusulkan model wahyu perjumpaan dari Keith Ward yang merangkul aspek ilahi dan manusiawi dalam pewahyuan. Model ini diperkaya dengan pendekatan hermeneutik kritis, termasuk perspektif feminis dari Elisabeth Schüssler Fiorenza, yang menekankan pentingnya membongkar asumsi patriarki dalam teks dan memberi ruang bagi pengalaman perempuan. Pendekatan ini tidak hanya mengungkap potensi ketidakadilan dalam teks, tetapi juga menciptakan makna baru yang relevan bagi pembaca masa kini. Kesimpulannya, Kitab Suci perlu dipahami secara dialektis, sebagai dialog antara wahyu ilahi, konteks historisnya, dan pengalaman pembaca modern. Pendekatan ini tidak melemahkan otoritas Kitab Suci, melainkan memperkuat relevansinya dalam membangun kehidupan yang lebih adil dan setara, terutama dalam isu-isu gender.