Kemenangan di dalam Rasa Lapar: Membaca Narasi Pencobaan Yesus (Lukas 4:1-13) dengan Lensa Pemikiran Al-Ghazali tentang Zuhud dan Manfaat Rasa Lapar
Keywords:
hermeneutics, interreligious, temptation, spirituality, sufi, asceticism, Jesus, al- GhazaliAbstract
Abstract
This paper uses the Multi-Faith Hermeneutic model in reading the narrative of Jesus’ temptation in the desert. In traditional readings, Jesus’ victory is often attributed to His divine status, the power of the Holy Spirit, or to His ability to apply the Word of God reflectively as a weapon against temptation. The author uses the lens of al-Ghazali’s thoughts, a Sufi figure, regarding the ascetic life (zuhud) and the benefits of hunger as a spiritual practice, to read the narrative of Luke 4:1-13. Through this approach, zuhud perspective helps readers see the reasons for Jesus’ victory from a new perspective. The hungry Jesus is Jesus who is trained in the guidance of the Holy Spirit as the teacher, in the life of zuhud (ascetism). Hunger as a spiritual practice that Jesus went through, was not a source of weakness, but a source of strength that helped Him to be clear and sharp in facing trials, not attached to the attractions of the world, and bound in love for God. Hunger also led Jesus to empathy and solidarity with the suffering of the world, as well as being a way of preparation for Jesus to carry out His transformative mission for the world.
Abstrak
Makalah ini menggunakan model Hermeneutik Multi-Iman dalam membaca narasi pencobaan Yesus di Padang Gurun. Dalam pembacaan tradisonal, kemenangan Yesus sering dikaitkan dengan status keilahian-Nya, kuasa Roh Kudus, atau karena kemampuan-Nya untuk menerapkan firman secara reflektif sebagai senjata melawan pencobaan. Penulis menggunakan lensa pemikiran al-Ghazali, seorang tokoh Sufi, tentang kehidupan asketis (zuhud) dan manfaat rasa lapar sebagai laku spiritualitas, untuk membaca narasi Lukas 4:1-13. Melalui pendekatan ini, perspektif zuhud menolong pembaca melihat alasan kemenangan Yesus dengan sudut pandang baru. Yesus yang lapar adalah Yesus yang terlatih dalam bimbingan Roh Kudus sebagai sang guru, dalam kehidupan zuhud (asektis). Lapar sebagai laku spiritualitas yang dijalani Yesus, bukan menjadi sumber kelemahan, namun kekuatan yang menolong-Nya untuk jernih dan tajam menghadapi pencobaan, tidak melekat pada daya tarik dunia, dan terikat dalam cinta kepada Allah. Rasa lapar juga membawa Yesus pada empati dan solidaritas pada penderitaan dunia, sekaligus menjadi jalan persiapan untuk Yesus mengerjakan misi transformatif-Nya bagi dunia.