Apakah Aku Benar-Benar Mengasihi Yesus?: Membaca Yohanes 21:15-23 dari Perspektif Tasawuf Cinta Maulana Jalaluddin Rumi
Keywords:
multi-faith hermeneutics, John 21, love sufism, Jalaluddin Rumi, mysticism, hermeneutik multi-iman, seeing through, Yohanes 21, sufisme cinta, mistikAbstract
Abstract
In the Christian faith, love is the most basic entity of religious life. Some people say that Christianity is a religion of love. The love is believed has two dimensions, namely the horizontal dimension and the vertical dimension. The horizontal dimension describes love between God and humans. Reading John 21:15-23 often gives the impression of understanding love in a narrower sense. In fact, love has very large and complex dimensions. For this, an attempt is made to carry out contextual hermeneutics, namely an effort to read and re-read a biblical text in a specific life context as experienced by the reader. The meaning of Divine Love
initiated by Maulana Jalaluddin Rumi can contribute to the interpretation of this text and tries to expand the meaning of this text in the hermeneutical process. This interpretation tries to show how Peter, in his humanity and efforts to express his love for Jesus, is on a journey of Love. He had not really said that he loved Jesus, other than that he had tried to experience Love himself. In the midst of these conditions, Jesus made himself available as a spiritual teacher (murshid) for Simon. Jesus hoped that the peak of Simon’s passionate love should be a channel or means of God’s love for humans. Therefore, Jesus’ invitation and call to Simon to become a shepherd who feeds His sheep is the climax of Simon’s journey of love for Love itself.
Abstrak
Dalam keyakinan iman Kristen, cinta adalah entitas hidup beragama yang paling fundamental. Sebagian orang mengatakan bahwa kekristenan adalah agama cinta. Cinta yang diyakini ini memiliki dua dimensi, yakni dimensi horizontal dan dimensi vertikal. Dimensi horizontal menggambarkan cinta antara Tuhan dengan manusia. Pembacaan Yohanes 21:15-23 seringkali memunculkan kesan untuk memahami cinta dengan arti yang lebih sempit. Padahal, cinta memiliki dimensi yang sangat besar dan kompleks. Untuk hal tersebut, dilakukan sebuah upaya melakukan hermeneutik kontekstual, yakni upaya untuk membaca dan membaca ulang sebuah teks Alkitab di dalam sebuah konteks kehidupan yang spesifik sebagaimana dimiliki oleh pembacanya. Pemaknaan Cinta Ilahi yang digagas oleh Maulana Jalaluddin Rumi dapat memberikan sumbangan penafsiran pada teks ini dan mencoba memberikan pemekaran pemaknaan kepada teks ini
dalam proses hermeneutisnya. Penafsiran kali ini mencoba memperlihatkan bagaimana Petrus, dalam kemanusiaannya dan upaya mengungkapkan cintanya kepada Yesus, ada dalam sebuah perjalanan Cinta. Dia belum dapat benar-benar mengatakan bahwa dia mencintai Yesus, selain daripada dia mencoba mengalami sendiri Sang Cinta. Di tengah kondisi ini, Yesus menyediakan diri menjadi guru spiritual (mursyid) bagi Simon. Yesus mengharapkan puncak kegairahan cinta Simon haruslah menjadi saluran atau sarana cinta Allah kepada manusia. Oleh karena itu, ajakan dan panggilan Yesus kepada Simon untuk menjadi gembala yang menggembalakan domba-domba-Nya merupakan klimaks dari perjalanan cinta Simon kepada Sang Cinta itu sendiri.