THE CONTRIBUTION OF INDONESIAN NOVELS, SHORT STORIES, AND POETRY TOWARDS TOLERANCE AS TO THE G-30-S TRAUMA
Keywords:
sastra Indonesia, trauma G-30-S, agamaAbstract
Abstract
In this paper we discuss the reconciling role of novelists and poets as to the trauma, which was the consequence of the bloody tragedy, known as G-30-S. From the very beginning (1966) till now, a number of short stories, poems, and novels did appear, in which the G-30-S events, mass killings and cruel persecutions, got a central place. The novelists and poets can be divided in three groups. First of all, those, who became victims of the repression, either as (ex-)political prisoners, as involuntary exiles or their children (e.g.Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Gitanyali). A second category are those writers who published during the New Order period of President Soeharto (e.g. Ahmad Tohari, Umar Kayam, Y.B. Mangunwijaya). Finallya critical generation of young, female novelists appears after 1998: AyuUtami, Leila S. Chudori, and Laksmi Pamuntjak. In general, though notalways, religion plays a rather positive role in their work. These author shave proved to be a brave and independent moral conscience of the nation. In this respect they are an example to the institutional religions in Indonesia, which so far hardly started a process of self-reflection as to this trauma.
Abstrak
Dalam karangan ini kita mendiskusikan peran pendamaian yang dikerjakan oleh beberapa novelis dan penyair terkait dengan trauma yang terjadi akibat peristiwa G-30-S dengan pembunuhan massalnya. Sejak 1966 hingga kini sejumlah cerpen, sajak, dan novel telah diterbitkan di mana peristiwa G-30-S memainkan peranan sentral. Penulis-penulisnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan. Pertama, yakni golongan mereka yang menjadi korban pengejaran sebagai eks-tapol, orang buangan, atau anak-anak mereka (misalnya: Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Gitanyali). Golongan kedua terdiri dari mereka, yang berani menulis cerpen dan novel selama masa Orde Baru, yaitu dalam rentang waktu kekuasaan Presidenan Soeharto: Ahmad Tohari, Umar Kayam, dan Y.B.Mangunwijaya. Akhirnya, golongan ketiga, yakni suatu generasi kritis muncul pada waktu reformasi, setelah 1998; di antaranya tiga penulis wanita muda: Ayu Utami, Leila S. Chudori, dan Laksmi Pamuntjak. Pada umumnya, walau tidak selalu, agama memainkan peran yang agak positif dalam karya-karya mereka. Harus diakui, bahwa penulis-penulis tersebut menjadi hati nurani moral yang berani dan mandiri untuk bangsa Indonesia. Dalam hal ini mereka juga menjadi teladan untuk agama-agama institusional di Indonesia, yang hingga kini sebenarnya belum sungguh memulai proses refleksi diri terkait dengan trauma tersebut.